Entri Populer

Rabu, 29 Maret 2017

Cara Membuat Pulut Sederhana




Cara Membuat Pulut Sederhana
Bahan-bahan:
-          Beras pulut putih 2kg
-          Santan kental 7 ons
-          Garam secukupnya
Cara membuat:
1.      Rendam beras pulut selama lebih kurang 2-3 jam (sampai pulut sedikit mengembang)
2.      Kukus beras pulut yang sudah mengembang selama kurang lebih 30 menit
3.      Letakkan beras pulut yang sudah dikukus ke dalam wadah
4.      Tuangkan santan kental ke wadah yang berisi beras pulut yang sudah dikukus, aduk rata, dan beri garam secukupnya
5.      Setelah beras pulut dan santan tercampur rata, masak kembali beras pulut yang sudah bercapur santan ke dandang nasi
6.      Masak beras pulut kira-kira 45 menit
7.      Selesai.

Cara Memilih Ikan Laut Segar


Berdasarkan pengalaman saya, ketika saya pertama kali disuruh belanja ke pasar tradisional, saya sering kali dikomplain ibu saya,kenapa beli ikan yang tidak segar, ikannya sudah diformalin, sudah di beri es batu berhari-hari, sudah disiram darah, dan lain-lain (ikan yang saya maksud disini antara lain ikan dencis atau klotok, ikan gembung, dan ikan tongkol). Saya bingung, karena yang saya lihat, ikan tersebut baik-baik aja kondisinya, tidak hancur dan tidak bau busuk. Tetapi ternyata rasa ikannya memang tidak seenak ikan segar, yang masih baru atau belum banyak diapa-apain. Dan untuk mengetahui ikan tersebut benar-benar masih baru dan masih segar, diantaranya:
1.      Lihat mata ikan tersebut, berwarna kemerahan atau putih biasa, jika mata ikan berwarna merah, bisa dipastikan ikan tersebut sudah tidak segar, karena ikan tersebut sudah diberi formalin, disiram darah atau direndam air garam berhari-hari.
2.      Lihat insang ikan, ikan yang benar-benar segar, memiliki insang yang bewarna merah segar, bukan merah pucat. Memang agak sulit membedakannya jika tidak ada yang pembandingnya, tapi jika anda pernah membeli ikan sungai, yang biasanya ikan sungai itu masih hidup ketika kita mau beli, kita kenali warna insang ikan sungai yang berwarna merah segar itu, maka jika insang ikan laut tidak berwarna merah seperti insang ikan sungai, maka ikan laut tersebut tidak benar-benar segar.
3.      Khusus untuk ikan dencis atau klotok dan ikan gembung, bisa dilihat dari bagian badan ikan tersebut, ikan yang segar akan terlihat warna kuning berkilat di bagian badan ikan, tetapi jika warna tersebut sudah tidak berkilat dan mungkin warna kebiru-biruan, maka ikan tersebut sudah tidak segar, karena ikan tersebut sudah diberi pewarna biru yang biasa digunakan untuk pakaian, kalau daerah saya disebut blau.
Sekian dari saya, sekedar tambahan informasi bagi kamu-kamu yang masih dalam pembelajaran seperti saya. ^_^

Minggu, 28 Februari 2016

Mengenal Kehidupan Shalahuddin Al-Ayyubi



A.      Mengenal Kehidupan Shalahuddin Al-Ayyubi
a.    Garis Keturunan
Shalahuddin berasal dari sebuah keluarga suku Kurdi yang memiliki asal-usul mulia dan sangat terhormat. Sebab tak seorang pun dari keturunan ini pernah mengalami perbuadakan dan juga karena ayah Shalahuddin Najmuddin Ayyub, serta pamannya Asaduddin Shirkuh, ketika datang ke Irak maupun Syam tidak pernah berstatus sebagai rakyat biasa; tetapi keduanya selalu menduduki posisi dan kedudukan yang tinggi, karena pengalaman mereka dalam urusan politik dan administrasi. Keluarga ini berasal dari keturunan yang terhormat secara nasab dan klan. Klan ini dikenal dengan sebutan Rawadiyah.[1]
Syadi, kakek tertua mereka, menduduki posisi pejabat administratif di Benteng Tikrit yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Bahruz Al-Khadim (salah seorang gubernur Kesultanan Saljuk, di bawah Sultan Muhammad bin Malik Shah). Mayoritas penduduk Kota Tikrit terdiri dari suku bangsa Kurdi. Syadi bersama kedua putranya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Shirkuh bermigrasi ke Tikrit dan secara bertahap menduduki posisi jabatan administratif, hingga ia diangkat sebagai pejabat yang menangani pengiriman barang-barang, dan setelah wafatnya, ia digantikan oleh Najmuddin Ayyub.[2]
b.   Kelahiran Shalahuddin Al-Ayyubi
Shalahuddin Al-Ayyubi dilahirkan pada tahun 532 H/1137 M di Benteng Tikrit, sebuah kota tua yang jaraknya lebih dekat ke Baghdad daripada ke Mosul. Keajaiban terjadi ketika kelahiran Shalahuddin Al-Ayyubi, karena pada saat itu bertepatan dengan keluarnya perintah dari Mujahiduddin Bahruz, penguasa Baghdad kepada Najmuddin Ayyub dan saudaranya Shirkuh, agar meninggalkan Kota Tikrit. Perintah tersebut dikeluarkan menyusul pembunuhan yang dilakukan Shirkuh –paman Shalahuddin, terhadap salah seorang komandan benteng.[3]
Bahruz memerintahkan keduanya meninggalkan Tikrit pada malam itu juga dengan rasa kekhawatiran. Keduanya berangkat menuju Mosul dengan membawa semua keluarga mereka, termasuk putra Najmuddin yang baru lahir, Shalahuddin.[4]
c.    Riwayat Pendidikan
Dua bersaudara Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Shirkuh tiba di Mosul dan mereka disambut dengan penuh hormat oleh Imaduddin Zanki disana. Ia membalas kebaikan mereka sewaktu Imaduddin mengalami kekalahan perang melawan Dinasti Saljuk di Tikrit yang ketika itu Najmuddin dan Asadudin diberi wewenang oleh Bahruz mengurus wilayah Tikrit. Keduanya memberikan bantuan sehingga Imaduddin dan bala tentaranya bebas dan selamat hingga ke Kota Mosul. Imaduddin mengalokasikan hasil dari tanah pertanian untuk mereka, agar mereka mau tinggal bersamanya dalam keadaan terhormat dan dimuliakan. Dalam kelapangan dada Imaduddin, keluarga Al-Ayyubiyah pun semakin berkembang, bahkan kini Najmuddin serta saudaranya Shirkuh masuk ke dalam jajaran para komandan pilihannya.[5]
Namun, sesudah itu Imaduddin terbunuh, maka Nuruddin tampil memegang kekuasaan, dan hal itu tidak lepas dari bantuan orang-orang Ayyubiyun. Pada masa pemerintahannya, Nuruddin berhasil menggabungkan Damaskus di bawah kekuasaannya; dan di Damaskus inilah Shalahuddin tumbuh menjadi remaja yang gemar mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan Islam, berlatih seni berperang, berburu, belajar memanah, dan berbagai kebutuhan pokok kepahlawanan lainnya.[6]
Nuruddin telah melihat berbagai kemampuan militer dan administrasi yang dimiliki oleh Shalahuddin. Nuruddin pun menaruh kepercayaan kepadanya, menjadikannya sebagai orang dekat dan memberi kedudukan khusus  kepadanya. Maka tatkala Al-Malik Al-Adhil, Nuruddin berkuasa di Damaskus, Najmuddin mengharuskan putranya Shalahuddin untuk mengabdi kepadanya. Dari ayahnya ia mempelajari jalan kebaikan, perbuatan mekruf, ijtihad dalam perkara-perkara jihad, hingga ia berangkat bersama pamannya Asaduddin Shirkuh ke negeri Mesir. Asaduddin berkuasa di Mesir, dimana keponakannya mengerjakan berbagai urusan dengan penuh perhatian, pemikiran yang lurus, dan kebijakan yang baik.[7]
Ketika Nuruddin Mahmud Zanki berhasil menaklukkan Balbek pada tahun 534 H, ia mengangkat Najmuddin Ayyub sebagai gubernurnya. Semasa masih berada di bawah kepemimpinan ayahnya di Balbek, Shalahuddin telah belajar ilmu-ilmu keislaman dan beragam teknik peperangan, di samping menguasai permainan bola dan kepandaian menaiki kuda, serta keahlian-keahlian khas golongan penguasa lainnya. Shalahuddin sangat lihai dalam permainan Al-jukan, yaitu permainan olahraga yang berasal dari Timur yang dilakukan oleh pemainnya sambil menunggangi kuda, di samping perhatiannya yang tinggi terhadap ilmu-ilmu agama.[8]
Dapat dikatakan bahwa Shalahuddin tumbuh menjadi besar dan mendapat pendidikan di lingkungan keluarga dengan belajar keahlian di bidang politik dari ayahnya; belajar keberanian dalam berbagai peperangan dari pamannya Shirkuh; sehingga ia tumbuh dewasa dalam keadaan kenyang dengan keahlian politik, penuh dengan semangat kombatan, sebagaimana ia juga mempelajari berbagai bidang ilmu populer di masanya. Ia menghafal Al-Quran, mempelajari fikih dan hadis dengan menjadi murid pada sejumlah ulama di wilayah Syam dan Al-Jazirah. Diantara gurunya adalah Syaikh Quthubuddin An-Naisaburi .[9]
Adapun masa yang dihabiskan Shalahuddin selama di Mesir, maka dianggap sebagia hari-hari tebesar yang telah memperlihatkan kepahlawanan luar biasa dan pengalaman perang yang langka. Ia setia mendampingi pamannya Shirkuh dalam tiga kali invasi militer ke Mesir.  Ia memperlihatkan kecakapan luar biasa dan kejeniusan langka di bidang peperangan dan pertempuran. Maka melalui keahlian berorganisasi, kepintaran dan kecakapan bertindak, ia bersama pamannya Shirkuh berhasil menyatukan Mesir di bawah kekuasaan Dinasti An-Nuriyah setelah membebaskan bangsa Mesir dari kekuasaan Dinasti Ubaidiyah yang beraliran Syiah Rafidhah.[10]


[1] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 292.
[2] Ibid.,  hlm. 293.
[3] Ibid., hlm. 294.
[4] Ibid., hlm. 295.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 297.
[7] Ibid., hlm. 298.
[8] Ibid., hlm. 299.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 301.

Senin, 01 Februari 2016

Karakteristik Da'i



PENDAHULUAN

Berdakwah untuk menyeru manusia kepada kebaikan, jika disertai dengan penyimpangan perilaku para da’i, merupakan penyakit yang akan menimbulkan keseimbangan dalam diri. Tidak hanya pada diri seorang da’i, tetapi juga terhadap dakwah. Hal inilah yang mengacaukan hati dan pikiran masyarakat karena mereka mendengar kata-kata yang indah tetapi menyaksikan perbuatan yang buruk. Saat itulah, mereka bingung untuk menilai ucapan dan perbuatan. Di satu sisi, di dalam jiwa mereka berkobar api yang semangat yang disulut oleh akidah, namun di sisi lain, cahaya hati yang bersumber dari keimanan meredup, lalu padam. Mereka tidak lagi percaya kepada agama setelah kehilangan kepercayaan kepada para da’i  yang menyebarkannya.
Penyimpangan atas setiap prinsip, karakteristik khusus, dan semboyan dakwah akan menjadi bumerang yang akan menghancurkan dakwah itu sendiri dan membuat orang lain menjauhi serta meremehkan dakwah. Ini dapat terjadi karena mereka mendengar pernyataan-pernyataan yang manis dan indah dari para da’i namun menyaksikan perbuatan yang buruk dan tercela. Bagaimana mungkin masyarakat mau mengikuti orang-orang yang mengucapkan sesuatu dengan mulutnya, tetapi hatinya sendiri tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. Dia menyuruh orang lain berbuat baik, tetapi dia sendiri tidak melakukannya.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan sikap tauladan yang baik dari para da’i  yang akan menjadi contoh yang baik untuk para mad’uwnya. Sangat diharapkan siapapun yang akan menjadi seorang da’i hendaknya memiliki syarat-syarat yang akan dibahas dalam makalah ini agar masalah-masalah yang pernah terjadi di masa lalu tidak akan terulang kembali dan dapat memperbaiki akidah masyarakat banyak.













PEMBAHASAN

KOMPETENSI DA’I
A.    Pengertian  Da’i
Da’i (isim fa’il), yaitu pelaku atau subjek dalam kegiatan dakwah. Selain istilah da’i juga dikenal dengan sebutan muballigh atau muballighah. Da’i berarti orang yang mengajak, sedangkan muballigh adalah orang yang menyampaikan. Jadi, da’i adalah orang yang menyampaikan dan mengajak serta merubah sesuatu keadaan kepada yang lebih baik, berdasarkan indikasi yang digariskan oleh agama Islam.[1]
Menurut HMS Nazaruddin Lathief, ahli da’i adalah muslim atau muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliyah pokok baginya tugas ulama. Ahli dakwah ialah wa’ad, muballigh mustamain (juru penerang) yang menyeru, mengajak dan memberi pengajaran dan pelajaran agama Islam.[2]
Dalam al-quran dan hadits.
1.      Al-quran surat An-Nahl ayat 125.
اُدْعُ اِ Ù„َÙ‰ َسِبيلِ رَبِلكَ بِا لحِكمَØ©ِ ÙˆَالمَوعِظَØ©ِ الحَسَÙ†َØ©ِ Ùˆَ جَدِ لهُÙ… بِا Ù„َتِÙŠ Ù‡ِÙŠَ ا حسَÙ†ُ اِÙ†َ رَبَÙƒَ Ù‡ُÙˆَ اَعلَÙ…ُ بِÙ…َÙ† ضَÙ„َ عَÙ† سَبِيلِÙ‡ِ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ اَعلَÙ…ُ بِا Ù„ُمهتَدِ ىنَ
Artinya :
“ Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat sari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl:125).
2.      Hadits riwayat Muslim dan Abu Hurairah.
Artinya :
“Bersabda Nabi SAW : Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah dia cegah dengan tangannya, maka jika tidak kuasa dengan lidahnya, maka jika tidak sanggup juga dengan hati, itulah dianya yang selemah-lemahnya iman”.
Berpedoman pada ayat-ayat dan hadits di atas dapat dikemukakan suatu defenisi bahwa juru dakwah itu ialah : setiap manusia muslim dan muslimah yang diberi tugas oleh Allah untuk mengajak orang lain kepada agamaNya dengan persyaratan-persyaratan tertentu sesuai dengan daya mampunya masing-masing dan di tengah- tengah masyarakat dia berperan sebagai pelita yang menerangi. [3]



B.     Kompetensi Da’i
Kompetensi da’i diartikan sebagai syarat minimal yang harus dimiliki, mencakup pemahaman, pengetahuan, penghayatan, perilaku dan keterampilan dalam bidang dakwah. Dengan istilah lain kompetensi da’i merupakan gambaran ideal (das sollen), sehingga memungkinkan ia memikul tanggung jawab dakwah sebagai penyambung lidah Rasulullah secara maksimal. Da’i yang berkualitas dan profesional serta mampu memberikan alternatif jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi umat sangat dibutuhkan masyarakat banyak terutama di zaman pasca modern atau era globalisasi saat ini. Kompetensi da’i yang diharapkan sekurang-kurangnya kompetensi substantif dan kompetensi metodologis.[4]
1.      Kompetensi Substantif
Kompetensi substantif menekankan pada keberadaan da’i dalam dimensi ideal dalam bidang pengetahuan, sehingga da’i mempunyai wawasan yang luas baik wawasan keislaman, wawasan keilmuwan maupun wawasan nasional bahkan wawasan internasional serta bersikap dan bertingkah laku yang mencerminkan akhlak mulia sebagaimana diajarkan oleh al-quran. Hal-hal yang tercakup dalam kompetensi substantif diantaranya :
a.      Penguasaan Ilmu Agama
Seorang da’i harus menguasai ilmu keislaman secara luas dan mendalam baik menyangkut tauhid, syari’ah (hukum), akhlak, pengetahuan umum dan bidang-bidang lainnya dikarenakan tugas seorang da’i sangatlah berat yakni mengajak, membimbing, dan membina umat agar beriman dan menata hidupnya sesuai dengan tuntunan Islam secara totalitas.
b.      Penguasaan Ilmu Umum
Seorang da’i selain memiliki pengetahuan agama juga harus memiliki pengetahuan lainnya terutama ilmu yang digolongkan sebagai mitra ilmu dakwah seperti psikologi, sosiologi, ilmu komunikasi, retorika dan lain sebagainya. Semakin banyak pengetahuan seorang da’i maka semakin mudah pula dalam mengadakan pendekatan terhadap masyarakat.
c.       Berakhlak Mulia
Da’i adalah agen perubahan sosial, penyeru kepada kebaikan dan kebenaran. Oleh karena itu seorang da’i haruslah berakhlak mulia dan menjadi tauladan dan panutan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Karena sesungguhnya dakwah akan sampai dengan bobot dan daya yang tajam apabila yang menyampaikannya mempunyai komitmen dan istiqomah serta konsuken antara ucapan dan perbuatan.
Rasulullah SAW secara tegas bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah diutus oleh Allah didunia ini tak lain hanyalah untuk menyempurnakan (akhlak budi pekerti) yang mulia”. (Hadist Riwayat Ahmad).[5]
2.      Kompetensi Metodologis
Kompetensi metodologis menekankan pada kemampuan praktis yang harus dimiliki seorang da’i dalam operasional dakwah atau pelaksanaannya. Kompetensi ini meliputi kemampuan merencanakan, menganalisa mad’uw serta mampu mengidentifikasi masalah umat, baik melalui dialog lisan, tulisan maupun dengan dialog amal. Kompetensi metodologis lebih terfokus pada tingkat profesionalisme da’i. Secara umum hal-hal yang tercakup dalam kompetensi metodologis adalah sebagai berikut :
a.    Memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dakwah seperti heterogenitas dari mad’uw yang dihadapi.
b.    Kemampuan membuat perencanaan dalam kegiatan dakwah, salah satunya mempertimbangkan mengenai skala prioritas sesuai dengan agenda permasalahan dan kebutuhan dari mad’uw.
c.    Memiliki kecakapan dalam mempersiapkan materi dakwah yang menuntut kemampuan untuk melihat dan menganalisa dan menyesuaikan materi dengan umat yang akan diseru.
d.   Memilki keahlian dalam menyampaikan ceramah untuk mengembangkan dan mendalami teori dan latihan secara terus-menerus.[6]

C.    Syarat-Syarat Yang Harus Dimiliki Da’i
Syarat-syarat yang harus dimilki seorang da’i menurut Muhammad Ash-Shobbach adalah sebagai berikut :
             1.     Sudah dapat merampungkan membaca Al-quran dan tafsirnya secara ringkas dan mendalami secara umum tentang ayat-ayat hukum.
             2.     Menguasai hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah, syari’ah dan muamalah.
             3.     Telah menguasai hadits-hadits shahih, terutama dalam kaitannya dengan ibadah dan hukum.
             4.     Menguasai pokok-pokok aqidah yang benar dan mampu menjelaskan aqidah yang murni kepada umat, sehingga umat terhindar dari syirik, kufarat dan tahayul.
             5.     Menguasai sejarah kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat.[7]
Syarat-syarat da’i lainnya adalah sebagai berikut :
1)   Memahami aqidah yang menjadi landasan dakwah
2)   Yakin dengan tujuan, sarana, dan sasaran dakwah
3)   Meguasai manhaj, peraturan, dan undang-undang dakwah
4)   Mempunyai iman yang mendalam
5)   Kemauan kuat
6)   Sungguh-sungguh dan optimis
7)   Menjadi teladan bagi orang lain
8)   Lembut dan berusaha
9)   Mampu menjaga rahasia
10)    Teguh dalam menepati janji
11)    Sanggup berkorban
12)    Manajemen waktu
13)    Hidup teratur.[8]

D.    Sifat-Sifat Da’i
1.      Ikhlas
Kewajiban seorang da’i adalah mengikhlaskan diri untuk Allah. Inilah akhlak yang paling penting dan sifat yang paling agung.
2.      Ilmu
Seorang da’i hendaknya berilmu terhadap apa yang didakwahkan dan jangan sampai jahil kepada para mad’u. Jadi berdakwah harus berdasarkan ilmu, bukan menyampaikan sesuatu yang tidak diketahui. Para da’i dan penuntut ilmu wajib unutk tahu benar dan memperhatikan apa yang didakwahkan beserta dalilnya. Lalu mengajak kepada kebenaran yang nampak jelas baginya, baik berupa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang harus dilakukan atau larangan Allah dan Rasul-Nya.
3.      Lemah lembut dan sabar
Para da’i wajib bertindak santun, sabar, dan lembut dalam mengarahkan serta berkata halus  dan baik agar mendapat respon yang baik dari para mad’u.
4.      Menjadi tauladan dalam dakwahnya
Seorang da’i haruslah bisa menjadi tauladan yang baik untuk para mad’uwnya dari setiap apa yang disampaikannya, agar mad’uw dapat menerima tanpa paksaan dalam menjalankannya.[9]
Sifat da’i yang disebutkan dalam al-quran diantaranya :
1.      Perintah agar da’i istiqomah tidak memperturutkan hawa nafsu, menjelaskan tentang ketegarannya dalam iman berbuat adil dan berusaha berdakwah sampai pada non-muslim. Allah berfirman :
“maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allahlah Tuhan kami dan Tuhanmu”. (as-Syura: 15).
2.      Bertawakkal dalam dakwah dari meyakini kebenaran dakwah yang disampaikan.
Sifat-sifat yang penting harus dimiliki oleh seorang da’i secara umum :
a.       Mendalami al-quran dan sunnah dan sejarah kehidupan Rasul, serta khulafaur rasyidin
b.      Memahami keadaan masyarakat yang akan dihadapi
c.       Berani dalam mengungkapkan kebenaran kapan pun dan dimana pun
d.      Satu kata dengan perbuatan
e.       Terjauh dari hal-hal yang menjatuhkan harga diri[10]
f.       Iman dan taqwa kepada Allah
Syarat kepribadian seorang da’i yang terpenting adalah iman kepada Allah. Oleh karena ia di dalam membawa misi dakwahnya diharuskan terlebih dahulu dirinya sendiri dapat memerangi hawa nafsunya, sehingga diri pribadi ini lebih taat kepada Allah dan Rasulnya dibandingkan dengan sasaran dakwahnya.
g.      Tulus ikhlas dan tidak mementingkan kepentingan diri pribadi
Niat yang lurus tanpa pamrih dunia belaka, salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang da’i. Sebab dakwah adalah pekerjaan yang bersifat ubudiyah atau terkenal dengan istilah hablullah, yakni amal perbuatan yang berhubungan dengan Allah. Memang ikhlas adalah perbuatan hati, oleh karena itu seorang da’i dalam membawa missi dakwahnya terhadap masyarakat harus ikhlas.
h.      Ramah dan penuh pengertian
Dakwah dapat diterima orang lain, apabila yang mempropagandakan yaitu pelaku dakwah (da’i) berlaku ramah, sopan dan ringan tangan untuk melayani sasarannya (obyeknya). Seorang da’i harus mempunyai kepribadian menarik, karena keramahan, kesopanan dan keringan tanganannya insya Allah akan berhasil dakwahnya.
i.        Tawadlu’ (rendah diri)
Rendah hati bukanlah semata-mata merasa dirinya terhina dan dibandingkan                                      dengan derajat dan martabat orang lain, akan tetapi tawadlu’ yang berarti sopan dalam pergaulan, tidak sombong dan tidak suka menghina dan mencela orang lain.
j.        Sederhana dan jujur
Sederhana disini adalah tidak bermegah-megah, angkuh dan lain sebagainaya. Sedangkan jujur adalah sebagi penguatnya, orang akan percaya terhadap segala ajakannya, apabila sang pengajak sendiri dapat dipercaya dan tidak pernah menyelisihi apa yang dikatakannya.
k.      Memiliki jiwa toleransi
Toleransi adalah di mana tempatnya seorang da’i harus mengadaptasikan dirinya dalam artian positif.
l.        Tidak memiliki sifat egoisme
Ego adalah suatu watak yang menonjolkan akunya, angkuh dalam pergaulan merasa dirinya terhormat, lebih pandai dan sebagainya. Sifat inilah yang harus betul-betul dijauhi oleh sang juru da’i.
m.    Tidak memiliki penyakit hati
Sombong, dengki, iri dan sebagainya, haruslah disingkirkan dalam hati sanubari seorang yang hendak berdakwah.
E.     Sikap Seorang Da’i
Sikap seorang da’i sangat mendapatkan perhatian yang serius dari sasaran dakwahnya. Kebanyakan orang melihat sikap orangnya terlebih dahulu, daripada melihat ajakannya, walaupun dikatakan dalam hadits Rasulullah SAW yang artinya:
“Lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah kamu melihat siapa (orang) yang mengatakan”. (Al-Hadist).
“Hing ngarsa asung tuladha, hing madya maangun karsa, tut wuri handayani”.
Pendapat KH Dewantoro itu harus pula dimiliki oleh seorang da’i. Hing ngarsa asung tuladha; Artinya seorang da’i yang merupakan orang terkemuka ditengah-tengah masyarakat haruslah dapat menjadi tauladan yang baik.
Keberhasilan dakwahnya seorang da’i setidak-tidaknya memiliki sifat sebagai berikut:
a.      Disiplin dan bijaksana
Oleh karena itu disiplin dalam artian luas sangat diperlukan oleh seorang da’i dalam mengemban tugasnya sebagai muballigh. Begitu pun bijaksana, dalam menjalankan tugasnya sangat berperan di dalam mencapai keberhasilan dakwahnya.
b.      Wira’i dan berwibawa
Sikap yang wira’i yakni menjauhkan perbuatan-perbuatan yang kurang berguna dan mengindahkan amal saleh, salah satu hal yang dapat menimbulkan kewibawaan seorang da’i. Sebab kewibawaan merupakan faktor yang mempengaruhi seseorang akan percaya menerima ajakannya.
c.       Tanggung jawab
Seorang da’i haruslah bertanggung jawab terhadap setiap apa yang dikatakannya. Jangan sampai mad’uw menilai bahwa da’i tersebut hanyalah bisa berkata tetapi tindakannya tidak.
d.      Berpandangan yang luas
Seorang da’i dalam menentukan strategi dakwahnya sangat memerlukan pandangan jauh, tidak panatik terhadap satu golongan saja dan waspada dalam menjalankan tugasnya. Sebab dengan sikap yang demikian tidak mungkin akan kekurangan cara (metode) untuk mengajak manusia ke jalan Allah.[11]












PENUTUP
KESIMPULAN
            Da’i yang identik dengan muballigh bermakna orang yang mengajak atau menyampaikan agama Islam serta merubah sesuatu keadaan kepada yang lebih baik, berdasarkan indikasi yang digariskan oleh agama Islam kepada jamaah dan biasanya melalui mimbar.
Kompetensi da’i diartikan sebagai syarat minimal yang harus dimiliki, mencakup pemahaman, pengetahuan, penghayatan, perilaku dan keterampilan dalam bidang dakwah. Dengan istilah lain kompetensi da’i merupakan gambaran ideal (das sollen), sehingga memungkinkan ia memikul tanggung jawab dakwah sebagai penyambung lidah Rasulullah secara maksimal. Kompetensi da’i yang diharapkan sekurang-kurangnya kompetensi substantif dan kompetensi metodologis.
Syarat-syarat untuk menjadi seorang da’i diantaranya adalah dapat merampungkan membaca Al-quran dan tafsirnya,  menguasai hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah, syari’ah dan muamalah, telah menguasai hadits-hadits shahih, terutama dalam kaitannya dengan ibadah dan hukum, menguasai pokok-pokok aqidah yang benar dan mampu menjelaskan aqidah yang murni kepada umat, dan menguasai sejarah kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat.
Sifat-sifat penting yang harus dimiliki oleh seorang da’i secara umum yaitu mendalami al-quran dan sunnah dan sejarah kehidupan Rasul, serta khulafaur rasyidin, memahami keadaan masyarakat yang akan dihadapi, berani dalam mengungkapkan kebenaran kapan pun dan dimana pun, ikhlas dalam melaksanakan tugas dakwah tanpa tergiur oleh nikmat materi yang hanya sementara, satu kata dengan perbuatan, dan terjauh dari hal-hal yang menjatuhkan harga diri, wira’i dan berwibawa, sikap seorang da’i diantaranya berakhlak mulia, hing ngarsa asung tuladha, hing madya maangun karsa, tut wuri handayani, disiplin dan bijaksana, tanggung jawab dan berpandangan luas.










DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Wawasan Dakwah (Medan:IAIN Press, 2002).
Alwisral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah (Jakarta:Kalam Mulia, 2005).
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya:Al-Ikhlas, 1983).
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta:Kencana, 2004).
Samahusy Syaikh Abdul Aziz dan Fadhilatusy Syaikh Zaid, Dakwah dan Akhlak Da’i (Jogjakarta:Pustaka Al-Haura, 2008).


[1] Abdullah, Wawasan Dakwah (Medan:IAIN Press,2002), hlm. 44.
[2] Alwisral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah (Jakarta:Kalam Mulia,2005), hlm.36.
[3] Ibid, hlm. 37.
[4] Abdullah, Wawasan,  hlm. 45.
[5] Ibid, hlm. 46-49.
[6] Ibid, hlm.51
[7] Ibid, hlm. 47.
[8] Muhammad Abduh, Komitmen Da’i Sejati (Jakarta:Al-Itishom, 2005), hlm. 59.
[9] Samahusy Syaikh Abdul Aziz dan Fadhilatusy Syaikh Zaid, Dakwah dan Akhlak Da’i (Jogjakarta:Pustaka Al-Haura, 2008), hlm. 48.
[10] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta:Kencana,2004), hlm. 80-81.
[11] Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya:Al-Ikhlas, 1983), hlm. 54.